Kutai Kartanegara, denganews.com – Laode Ali Imran seorang pakar hukum dari Universitas Kutai Kartanegara, memberikan pandangan kritis terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang saat ini sedang dalam proses kasasi. Menurut Laode, masa kasasi masih berada dalam rentang waktu 20 hari sejak putusan PTUN diterbitkan. Jika dihitung, batas waktu maksimal kasasi kemungkinan jatuh pada 26 atau 27 November 2024. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum masih berjalan dalam koridor waktu yang sesuai.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 129 Tahun 2024 Laode menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 129 Tahun 2024 yang menjadi rujukan dalam perdebatan hukum terkait masa jabatan kepala daerah. Pada halaman 68 putusan tersebut, MK secara tegas menyatakan bahwa perhitungan masa jabatan tidak dihitung sejak pelantikan, melainkan sejak pejabat mulai menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya secara nyata dan riil.
Putusan ini, menurut Laode, seharusnya mengakhiri perdebatan tentang frasa yang selama ini diperdebatkan. “Putusan ini sudah jelas. MK menegaskan bahwa masa jabatan dihitung sejak tugas dijalankan, bukan sejak pelantikan,” ucapnya saat di hubungi media Nusantaranews.info via telepon genggam,pada Sabtu, (16/11/2024)
Dengan demikian, menurut Laode, KPU seharusnya tidak meloloskan Edi Damansyah sebagai calon kepala daerah karena tidak memenuhi syarat pencalonan.Penolakan Permohonan ke MK Laode juga menjelaskan bahwa penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan yang mengacu pada Pasal 162 UU Nomor 10 Tahun 2016 terjadi karena pasal tersebut tidak relevan dengan isu pencalonan. MK menilai bahwa permasalahan pencalonan harus merujuk pada Pasal 7 ayat 2 huruf n yang tidak membedakan antara pejabat sementara dan definitif.
“Pasal tersebut sudah dijelaskan dalam pertimbangan MK, sehingga penafsiran lain yang tidak utuh terhadap putusan MK menjadi tidak relevan,” tegas Laode.
Implikasi Putusan Kasasi dan Potensi di MK Lebih lanjut, Laode menyatakan bahwa jika Mahkamah Agung (MA) dalam proses kasasi menguatkan putusan PTUN sebelumnya, maka ranah persoalan ini dapat berpindah ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan potensi dampaknya terhadap hasil pemilihan.
“Jika MK konsisten dengan putusan Nomor 129 Tahun 2024, ada peluang besar kandidat nomor urut 01 dapat digugurkan. MK sudah memberikan landasan hukum yang sangat jelas, sehingga tidak ada ruang untuk opini-opini yang menyesatkan,” ujarnya.
Laode juga menekankan bahwa dalam bahasa hukum, putusan niet ontvankelijk verklaard (N.O.) yang dihasilkan oleh PTUN Banjarmasin tidak berarti gugatan ditolak. Putusan N.O. hanya membahas persyaratan formal pengajuan gugatan, bukan pokok perkara.
“Ada kesalahpahaman di masyarakat terkait terminologi hukum. Putusan N.O. bukan berarti gugatan ditolak, melainkan tidak diterima karena persoalan legal standing,” tambahnya.
Penjaga KonstitusiSebagai penutup, Laode memuji Mahkamah Konstitusi atas keputusannya yang dianggap telah menjalankan tugasnya secara filosofis sebagai “penjaga konstitusi”. Ia mengimbau semua pihak untuk membaca dan memahami putusan secara utuh agar tidak menimbulkan polemik yang tidak perlu.
“Putusan MK Nomor 129 Tahun 2024 sudah jelas dan tidak membingungkan. Bahkan, orang awam pun dapat memahaminya jika dibaca dengan teliti. Masa jabatan dihitung sejak tugas dijalankan, bukan sejak pelantikan,” pungkasnya.
Dengan adanya putusan ini, Laode berharap proses hukum berjalan dengan adil dan konsisten, sehingga setiap kandidat dapat bersaing secara sehat dalam pemilu mendatang.