SAMARINDA, denganews.com — Ancaman terhadap demokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kutai Kartanegara (Kukar) dapat terjadi apabila terdapat pelanggaran norma hukum yang merusak prinsip-prinsip demokrasi dan berpotensi mengarah pada absolutisme kekuasaan.
Hal ini diungkapkan oleh La Ode, seorang ahli hukum, yang menekankan pentingnya penegakan hukum dalam menjaga kualitas demokrasi di daerah tersebut.La Ode menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 7 Ayat 2 huruf N secara tegas mengatur bahwa kepala daerah yang telah menjabat selama dua periode tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri kembali.
Ketentuan ini menjadi landasan hukum yang penting dalam memastikan proses demokrasi berjalan secara adil dan tanpa adanya potensi monopoli kekuasaan.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PUU-XXI/2023 memperkuat aturan tersebut dengan menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kepala daerah definitif dan penjabat sementara dalam konteks larangan mencalonkan diri kembali setelah dua periode. Putusan ini bersifat final dan mengikat semua institusi negara yang terkait,” tambah La Ode.
Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya mematuhi aturan hukum yang berlaku untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang dapat merusak demokrasi. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, diharapkan semua pihak yang terlibat dalam Pilkada Kukar dapat menghormati dan menjalankan ketentuan hukum dengan sebaik-baiknya.Ancaman demokrasi, menurut La Ode, bukan hanya sekadar pelanggaran norma hukum, tetapi juga potensi terciptanya kekuasaan absolut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan ketat dari semua pihak agar proses demokrasi di Kukar berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.Dengan penegasan ini, diharapkan Pilkada Kukar dapat menjadi contoh pelaksanaan demokrasi yang sehat dan taat hukum, serta terhindar dari ancaman-ancaman yang dapat merusak tatanan demokrasi di daerah tersebut.